KESABARAN KH. HASYIM SHOLEH DIUJI SANG MURSYID (GUS MIEK)

ISNUSA - Salah satu alasan mengapa Majelis Sema’an Al Qur'an dan Dzikrul Ghofilin bisa berkembang pesat dan tersebar luas adalah karena Gus Miek mempunyai pengikut, santri, karib dari kalangan Kiai-kiai ternama di daerah–daerah, yang dengan ikhlas lahir bathin siap mengembangkan majelis ini.

Salah satu "tangan kanan" Gus Miek adalah KH. Hasyim Sholeh. Masyarakat sekitar kerap memanggilnya Mbah Hasyim Mayak (Mayak, merujuk pada nama dukuh/desa) Pendiri Pondok Pesantren Darul Huda, Ponorogo yang hingga kini dibuat ngangsu kaweruh ribuan santri. Kesiapan lahir bathin tersebut salah satunya bisa disimpulkan dari cerita berikut:

Kisah ini penulis dapat ketika masih nyantri di Pondok Pesantren Darul Huda, Ponorogo, pada suatu forum mengaji yang diampu oleh Gus Sami’ (Putra KH. Hasyim Sholeh). Beliau bercerita dengan intonasi yang lembut nan khas.

Di saat majelis sima’an Al-Qur'an dan Dzikrul Ghofilin masih terpusat di daerah Kediri, banyak jemaah dari luar kota yang berbondong–bondong menghadiri majelis tersebut, tak terkecuali rombongan dari Ponorogo yang dipimpin KH. Hasyim Sholeh. Pada suatu momen sima’an, Gus Miek melihat rombongan Ponorogo kian bertambah banyak. Gus Miek menilai sudah saatnya Ponorogo mendirikan majelis sendiri. Dipanggillah Mbah Hasyim menghadap.

“Kiai, njenengan saya amanahi merintis sima’an di Ponorogo ya?” pinta Gus Miek.

“Iya, Kiai.” Jawab Mbah Hasyim dengan penuh ta’dzim.

“Njenengan cari waktu yang sesuai, nanti saya sendiri yang akan meresmikan.”

“Iya,  TimpKiai.”al Mbah Hasyim sekali lagi.

Waktu yang direncanakan pun telah tiba. Bertempat di depan kediaman Mbah Hasyim, para jemaah berkumpul membentuk lingkaran dengan sebuah tumpeng di tengahnya. Majelis hanya tinggal menunggu kedatangan Gus Miek.

Waktu terus berjalan namun Gus Miek tak kunjung datang. Jemaah pun mulai resah termasuk Mbah Hasyim selaku shohibul hajat. Setelah dirasa Gus Miek tidak datang, jemaah pun satu persatu pamit pulang dengan memendam rasa kecewa, tak terkecuali Mbah Hasyim sendiri.

Di kesempatan sima’an selanjutnya, Mbah Hasyim tetap berangkat. Kekecewaan lantaran tidak hadirnya Gus Miek dalam rencana peresmian majelis tempo hari tak membuatnya patah hati. Setelah majelis selesai, Gus Miek memanggil Mbah Hasyim yang berada di tengah rombongan Ponorogo.

“Mohon maaf kiai, kemarin berhalangan hadir, njenengan cari waktu lagi ya? Oh iya, sekalian siapkan pengeras suara yang bagus.” Pinta Gus Miek dengan nada mantap dan lugas.

“Iya, Kiai.” jawab Mbah Hasyim sembari berharap semoga kali ini benar–benar bisa datang.

Waktu peresmian telah tiba. Seperti biasanya, jemaah melingkar dan sebuah tumpeng berada di tengah lingkaran. Kali ini terdapat pengeras suara yang lebih besar dari sebelumnya. Semua sudah siap, tinggal menunngu sang Mursyid tunggal Dzkirul Ghofilin. Namun sang guru belum juga tiba. Mbah Hasyim berharap cemas dan tak ingin kembali mengecewakan para jemaah.

Tapi kenyataan berkata lain. Mbah Hasyim kembali kecewa, karena ternyata sang guru tidak hadir hingga majelis bubar. Di tengah malam yang sunyi, Mbah Hasyim keluar rumah dan berjalan menyusuri pinggiran jalan raya sambil sesekali meneteskan air mata.

“Apa sebenarnya diinginkan Gus Miek?"

"Apakah aku melakukan kesalahan hingga membuat beliau tidak mau hadir?"

"Ataukah Tuhan belum menghendaki majelis ini berdiri di Ponorogo?” bathin-nya terus bergejolak.

Di tengah gejolak hatinya, sebuah mobil lewat dari arah belakang mbah Hasyim. Mobil ber-plat "N1CA" itu tak lain dan tak bukan adalah mobil Gus Miek. Mobil itu berjalan pelan sendirian di tengah jalan. Seakan ingin menunjukan bahwa sebenarnya Gus Miek memang telah berada di Ponorogo dan sengaja tidak menghadiri kegiatan peresmian.

Pada kesempatan sima’an selanjutnya, Mbah Hasyim memantapkan hatinya untuk berangkat ke Kediri, seakan hatinya tegas berkata, “Ada atau tidak adanya majelis sima’an di Ponorogo tak akan menyurutkan semangatku untuk istiqomah hadir di majelis sima’an”. Pasca majelis selesai, seperti biasa mbah Hasyim dipanggil gus Miek.

“Mohon maaf Kiai, kemarin tidak bisa hadir. Njenengan kumpulkan lagi jemaah yang banyak, kali ini hukumnya wajib saya hadir.” pinta Gus miek dengan senyum ramah seakan tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

“Iya, Kiai.” timpal Mbah Hasyim lirih.

Kali ini dibenaknya hanya pasrah, ini semua diniati semata mencari berkah sang guru.

Waktu yang ditunggu telah tiba. Kali ini selain tumpeng yang lebih besar, jemaah pun lebih banyak sesuai permintaan Gus Miek. Semua yakin dan mantab kali ini Gus Miek benar-benar bisa hadir. Namun harapan itu ternyata sirna. Gus Miek benar-benar tidak hadir untuk ketiga kalinya. Jemaah pun bubar. Tak ada peresmian malam itu. Tengah malam, mbah Hasyim berjalan menyusuri jalan, untuk sekedar meluapkan kesedihannya. Air matanya menetes. Dalam hatinya bermunajat,

“Ya Allah, berikan hamba kekuatan untuk menghadapi cobaan-Mu, semua yang hamba jalani semata hanya untuk meraih ridha-Mu.”

Di tengah kegalauannya, di jalan yang sama seperti yang lalu, Mbah Hasyim melihat ada mobil lewat di sampingnya. Mobil sang guru berjalan pelan dan berhenti. Kaca depan mobil itu terbuka dan wajah sang guru keluar di balik kaca mobil sembari melontarkan satu kalimat.

“Gimana, Kiai? Enak to?” dawuh Gus Miek dengan tersenyum tipis.

Setelah itu, mobil melaju kencang. Mbah Hasyim menunduk dan mengelus dada dengan perasaan campur aduk antara sedih, kecewa, dan pasrah. Konon di pertemuan selanjutnya Gus Miek berbicara empat mata dengan mbah Hasyim yang intinya serangkaian kejadian kemarin hanya sebuah ujian kecil dari sang guru.

“Kalau mau marah tidak perlu belajar, kecuali sabar, itu butuh belajar.” begitu pesan Gus Miek.

Singkat cerita sima’an mantab akhirnya diresmikan langsung oleh Gus Miek. Meskipun terdapat berbagai hambatan di awal berdirinya, namun berkat bekal ujian kesabaran dari SANG GURU, dan kegigihan sang murid serta atas ridha-Nya, seperti yang kita ketahui majelis sima’an Al-Qur'an dan Dzikrul Ghofilin semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Majelis ini ibarat oase di tengah keringnya aspek spiritual di kalangan masyarakat.
Kagem Beliau berdua, Al-faatihah.

Fathan Zainur Rosyid | Sabtu, 29 Juni 2019 | 16.40 WIB.

Post a Comment

0 Comments